Peran yang dimainkan oleh organisasi-organisasi regional sangat berbeda bergantung pada karakteristik organisasi tersebut. Karakteristik ini dipengaruhi oleh faktor geografis, ketersediaan sumber-sumber dan struktur organisasi. Perbedaan faktor-faktor ini akan mempengaruhi bentuk Organisasi Regional dan organ-organ yang menopangnya. Perbedaan karakter ini juga nantinya akan berpengaruh pada mekanisme dan prosedur penyelesaian konflik yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa antara anggota dalam sebuah Organisasi Regional.
Uni Eropa, Organisasi Regional paling maju saat ini, memiliki European Court of Justice, organ khusus yang bertanggung jawab atas setiap upaya penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota Uni Eropa, yang yurisdiksinya mencakup seluruh negara anggota, organ-organ penting dalam masyarakat dan warga negara sah dari negara-negara anggota. Hal ini dijelaskan dalam the Treaty of Amsterdam(1997) yang mulai diberlakukan pada tahun 1999.
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organisation – NATO) yang didirikan pada tahun 1949 juga memiliki prosedur penyelesaian konflik antara negara-negara anggotanya. Pada 1956, organ utama NATO, Dewan Atlantik Utara, merumuskan suatu komitmen yang menggariskan bahwa, sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui jalur negosiasi langsung harus disampaikan dan dibahas dengan prosedur dan dalam forum NATO sebelum dibawa ke organisasi internasional di luar NATO. Resolusi tersebut juga menyebutkan bahwa Sekjen maupun negara-negara anggota memiliki hak dan kewajiban untuk meminta perhatian dewan mengenai ancaman-ancaman yang dapat mempengaruhi solidaritas dan efektifitas aliansi. Lebih lanjut, Sekjen diberikan wewenang sebagai fasilitator yang dimandatkan untuk menyelenggarakan penyelidikan, mediasi, atau arbitrasi bagi negara-negara anggota yang berkonflik.
Pakta Warsawa yang didirikan oleh Uni Soviet dan meliputi sebagian besar Eropa Timur, memiliki suatu wadah kerjasama ekonomi yang didirikan pada 1949, yaitu Council for Mutual Economic Aid, namun tanpa sebuah organ penyelesaian sengketa. Organisasi ini kemudian hancur seiring runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin dan digantikan oleh Commonwealth of Independent States (CIS) yang dipimpin oleh Federasi Rusia.
Banyak Organisasi Regional lain yang masing-masingnya memiliki prosedur penyelesaian sengketa tersendiri yang dirumuskan dengan berpedoman pada perjanjian yang telah disepakati oleh negara-negara anggotanya, seperti; Conference on Security and Cooperation in Europe (CSCE) yang kemudian berubah menjadi Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE); Organization of American States (OAS) dengan ketentuan penyelesaian konflik yang tertuang jelas dalam Pakta Bogota; Organization of African Union (OAU); danOrganization of the Islamic Conference (OIC), yang masing-masingnya memiliki organ tersendiri dalam upaya penyelesaian sengketa yang terjadi antara negara-negara anggotanya.
Dalam menyelesaikan sengketa internal kawasan, salah satu peran utama Organisasi Regional adalah untuk menjadi wadah konsultasi, menyelenggarakan dan menyediakan suatu forum negosiasi bagi negara-negara anggota baik dalam situasi konflik maupun dalam kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik. Peran ini secara nyata dapat dilihat dalam Perang Cod, konflik batas perairan Inggris-Islandia yang meletus pada 1961 dan 1976. Konflik pertama dapat diredakan melalui negosiasi yang digagas oleh NATO. Konflik kedua berhasil diselesaikan melalui Pertemuan Tahunan Menteri Luar Negeri Negara-Negara Anggota NATO yang diselenggarakan di Oslo yang digagas oleh Menteri Luar Negeri Norwegia bersama Sekjen NATO kala itu. Negosiasi ini berujung pada kesepakatan kedua negara untuk mengakhiri pertikaian. Peran yang relatif sama juga tampak pada sengketa perbatasan Aljazair-Maroko tahun 1963. Di sini, OAU membentuk suatu komisi ad hoc dan menyelenggarakan beberapa pertemuan yang diikuti oleh kedua negara yang bersengketa, bertujuan untuk membahas masalah penarikan pasukan, pengembalian tawanan perang dan perbaikan hubungan diplomatik.
Organisasi Regional juga kadang berperan sebagai mediator dalam konflik-konflik internal kawasan. Dengan wewenangnya, Organisasi Regional merancang sebuah prosedur resolusi konflik untuk menyelesaikan perselisihan antara negara-negara anggota. Contohnya; OAS yang bertindak sebagai mediator dalam sengketa Honduras-Nicaragua pada tahun 1957 perihal keputusan arbitrase Raja Spanyol. Pasca pengaduan kedua negara yang bersengketa, OAS menyelenggarakan sebuah pertemuan khusus dan meminta kedua negara yang bersengketa untuk menghentikan tindakan-tindakan provokatif yang dapat mempertajam konflik. OAS kemudian membentuk sebuah komite yang terdiri dari perwakilan lima negara anggota yang bertugas untuk mempelajari sengketa tersebut. Komite ini kemudian mengunjungi kedua negara dan meminta kedua negara untuk menandatangani kesepakatan genjatan senjata dan penarikan pasukan masing-masing. Komite kemudian juga ditugaskan untuk merumuskan prosedur resolusi konflik untuk menyelesaikan sengketa ini. Walaupun pada akhirnya usaha ini terbukti gagal, namun upaya mediasi yang dilakukan OAS berhasil meredakan ketegangan yang ada. Upaya mediasi juga dilakukan oleh CSCE/OSCE dalam sengketa wilayah Dneister pada tahun 1993. Di sini, CSCE sebagai mediator, menetapkan otonomi bagi Dneister di bawah otoritas pemerintah Moldova dan penarikan pasukan Rusia dari wilayah ini. Pada prakteknya, proses mediasi oleh Organisasi Regional dapat didelegasikan kepada pihak-pihak tertentu yang dianggap mampu. Seperti dalam sengketa Tanzania-Uganda tahun 1972, di mana Kepala Negara Somalia diberi mandat sebagai mediator dengan didampingi oleh Sekjen OAU.
Organisasi regional juga dapat melakukan penyelidikan terhadap konflik yang terjadi antara negara-negara anggotanya. Nantinya, hasil penyelidikan ini akan digunakan untuk merumuskan resolusi konflik yang dianggap paling efektif untuk diterapkan. Misalnya pada sengketa perbatasan Bolivia-Paraguay tahun 1929. Penyelidikan dilakukan oleh The Chaco Commission yang dibentuk oleh Conference of American States atas mandat yang diberikan oleh OAS. Contoh lain,Inter-American Commission, yang ditugaskan untuk menyelidiki penyebab sengketa Haiti-Republik Dominika tahun 1937.
Pengiriman Pasukan Penjaga Perdamaian merupakan peran lain yang juga dimainkan oleh Organisasi Regional. Beberapa contoh kasus; pengiriman pasukan penjaga keamanan CIS di Georgia pada masa kekosongan pemerintah sipil tahun 1994; dikirimnya pasukan penjaga perdamaian ECOWAS yang didukung oleh Dewan Keamanan PBB di Sierra Leone (1997), Ivory Coast (2003), dan Liberia (2003); operasi penjaga perdamaian yang dilakukan oleh CEMAC pada tahun 2002 menggantikan pasukan CEN-SAD yang telah berada di sana sejak 2001; pasukan penjaga perdamaian yang dikirim oleh OAU ke Darfur, bagian barat Sudan, untuk mendampingi peneliti-peneliti Uni Afrika yang berada disana.
Keterikatan Organisasi Regional pada batas-batas geografis kawasan melemahkan kemampuannya untuk menyelesaikan konflik intra-regional hingga ke titik terendah. Dalam bahasa sederhana, Organisasi Regional bukan pilihan yang tepat untuk meredakan konflik yang terjadi antara negara anggotanya dengan negara anggota Organisasi Regional lain. Faktanya, dalam konflik-konflik seperti ini, kehadiran Organisasi Regional cenderung mempertajam konflik yang ada. Konflik Argentina- Inggris dalam sengketa Falklands adalah contoh nyata dari kelemahan ini. Dalam kasus ini, kedua pihak yang bertikai justru memanfaatkan keanggotaan mereka untuk memobilisasi kekuatan dan mencari dukungan. Pada akhirnya, konflik ini harus diselesaikan oleh PBB.
Organisasi Regional tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam konflik domestik negara-negara anggotanya, konflik seperti; revolusi, perang sipil, dan peristiwa merusak lainnya. Mereka tidak memiliki yurisdiksi untuk itu, mereka dirancang untuk mengatur dan menjembatani hubungan antara negara-negara anggotanya, bukan mencampuri urusan internal negara-negara anggotanya. Hal ini akan sangat berpengaruh apabila konflik internal tersebut menyebar hingga ke negara tetangga dan pada akhirnya mengancam stabilitas keamanan kawasan. Dapat dilihat, Ketidakmampuan dan keengganan Organisasi Regional untuk terlibat dalam urusan-urusan domestik negara anggota pada akhirnya akan membahayakan eksistensi Organisasi Regional itu sendiri.
Loyalitas dan solidaritas negara anggota yang sangat dipengaruhi oleh hubungan antar negara, kepentingan nasional dan kesamaan atau perbedaan latar belakang budaya dalam sebuah Organisasi Regional seringkali menghalangi upaya penyelesaian sengketa yang ditangani oleh Organisasi Regional tersebut. Memang, dalam perjanjian kerjasama mereka, hubungan negara-negara anggota terlihat kuat dan solid. Namun pada prakteknya, kesatuan yang ada antara mereka tidak sekokoh seperti yang tertuang dalam konstitusi mereka. Dalam kasus Falklands, negara-negara anggota OAS yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya, lebih mendukung Inggris daripada Argentina, yang pada akhirnya menghancurkan kebulatan suara organisasi tersebut. Kasus lain, perbedaan latar belakang budaya -dalam hal ini, ideologi- menyebabkan dihentikannya Pertemuan Tahunan Dewan OAU tahun 1982. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tajam yang ada antara negara-negara anggota berhaluan moderat dengan negara-negara anggota berhaluan radikal.
Minimnya dana dan keterbatasan sumberdaya Organisasi Regional menyebabkan Organisasi Regional menjadi sangat bergantung pada sumberdaya yang dimiliki oleh negara anggota dalam setiap upaya penyelesaian konflik. Hal ini jelas akan membatasi peran dan ruang gerak Organisasi Regional tersebut. Contoh nyata dari kasus ini adalah kegagalan pasukan penjaga perdamaian OAU yang dikirim ke Chad pada tahun 1982, di mana kekurangan logistik dan finansial merupakan salah satu faktor utama kegagalan misi tersebut.
Sumber :